Menko Perekonomian Airlangga Hartarto Ungkap Perlunya Kontribusi Riset Sosial di Masa Pandemi
JAKARTA - Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan di tengah pelaksaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM, pemerintah terus menjaga daya beli masyarakat dengan berbagai kebijakan yang diperpanjang. Dalam mengatasi pandemi Covid tersebut peran riset sosial sangat diperlukan.
“Di dalam masa pandemi ini riset sosial ekonomi diperlukan guna membantu pemerintah memahami perilaku dan seluruh aktor dalam perekonomian yang terdisrupsi akibat adanya pandemic Covid 19. Dengan berbagai riset dan inovasi pemerintah terus merumuskan kebijakan yang berbasis pada riset base policy yang sehingga tentu penerapannya akan lebih baik,” ungkap Airlangga Hartarto sebagai Keynote Speaker dalam “Konferensi Nasional Konsorsium Publikasi Bidang Ilmu Sosial” di Jakarta, Rabu (28/7/2021).
Ilmu sosial, menurut Airlangga mempunyai peran yang penting dalam menunjukkan dokumen dan memberikan rekomendasi tentang bagaimana masyarakat merespons dan mengatasi pandemi ini. Selama ini banyak pihak melihat dalam merespons pandemi ditekankan pada pendekatan medis yang melihat pembatasan gerak masyarakat sebagai salah satu alat utama. Di sisi lain, pelaku ekonomi melihat pendekatan ekonomi yang tentunya mempunyai fokus untuk menghindari agar masyarakat kehilangan penghasilan.
“Sehingga tentu balance antara penanganan covid untuk kesehatan dan juga kesempatan masyarakat untuk mendapatkan penghasilan. Nah ini hal - hal sifatnya tidak ada yang pasti, namun tentu ini perlu dilihat sebagai kebijakan yang perlu diambil secara seimbang,” ungkapnya.
Perilaku manusia, tambah Airlangga, seringkali bertentangan dengan standar dan modeling ilmu pasti yang rasional. Sebagai contoh terjadi panic buying terutama memborong tisu terutama terjadi saat lockdown awal di berbagai negara di luar negeri.
“Di sinilah ilmu sosial penting untuk memberi alasan yang tepat dan agar mencegah masyarakat tidak panik untuk menghadapi situasi krisis yang tidak pernah terjadi ini,” Ucapnya dalam acara yang diinisiasi oleh Konsorsium Publikasi Ilmiah Bidang Ilmu Sosial dengan Universitas Nasional sebagai Host dan Co-Host: UKI, Universitas Bakrie, Universitas Binus, Universitas Pelita Harapan, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Moestopo.
Tak ayal, bagi Airlangga pemulihan ekonomi di Indonesia tentunya akan terus dikselerasi dengan memanfaatkan hasil riset dan inovasi termasuk juga dalam riset sosial.
Solidarity, Creativity and Connectivity
Sejalan dengan pernyataan Menko di atas, Rektor Universitas Nasional, Dr. Drs. El Amry Bermawi Putera, MA. menilai kondisi pandemi kali ini menjadi tema untuk dikaji dari sudut pandang ilmu sosial. Karena dengan semakin banyaknya penelitian akan semakin meningkat pula pengetahuan masyarakat umum.
Acara yang berlangsung secara hybrid; luring dan daring, rabu (28/7/2021) ini bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran informasi mengenai pengetahuan dan peradaban dan budaya, memberikan pengetahuan tentang perkembangan sosial, politik dan komunikasi saat ini serta memberi kesempatan kepada peneliti juga akademisi untuk memperluas hasil temuannya kepada masyakat. Urgensi publikasi ini akan ditindaklanjuti dangan pelaksanaan Konferensi Internasional pada 24-25 November 2021.
Dari sudut pandang hubungan internasional, Prof Arry Bainus menyatakan, di bidang kesehatan, seluruh dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Indonesia mempunyai peluang dalam kerja sama kesehatan global, terutama penanggulangan Covid-19, sehingga diplomasi kesehatan dan diplomasi vaksin harus ditingkatkan mengingat ”angka infeksi dan kematian” di Indonesia cukup tinggi, Indonesia pun mempunyai peluang dalam memenuhi kebutuhan dan penyediaan alat-alat kesehatan, obat dan vaksinasi melalui kerja sama internasional dengan pihak luar negeri mengingat Indonesia mempunyai industi farmasi dengan jaringan global.
Sementara itu, Prof Syarif Hidayat selaku Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional menggambarkan dari politik domestik, kehadiran pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020 yang lalu, telah menyodorkan pelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia, karena secara nyata telah menguji apakah Lembaga Demokrasi di Indonesia, utamanya Partai Politik, Lembaga Perwakilan, dan Birokrasi, telah menunjukkan “jati diri dan kapasitasnya” dalam menginisiasi maupun implementasi program penanggulan virus corona yang meresahkan tersebut. Realitas mengindikasikan bahwa tiga lembaga demokrasi tersebut cenderung terlihat hanya “nyata dalam struktur”, tetapi “tidak kentara dalam fungsi”.
Silang sengkarut implementasi kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19, merupakan salah satu indikasi dari betapa lemahnya kapasitas lembaga birokrasi. Pada rapat terbatas di Istana Merdeka, 3 Agustus 2020, Presiden Jokowi mengungkapkan kekecewaannya atas realisasi anggaran yang masih sangat minim. Pernyataan presiden Jokowi ini secara implisit mengisyaratkan bahwa semangat Perppu No. 1 Tahun 2020 sebagai upaya untuk menjawab kondisi darurat (extraordinary) akibat pandemi Covid-19, belum dioperasionalkan secara optimal oleh jajaran Kementerian karena mereka masih terjebak dalam cara kerja rutin (ordinary).
Kondisi ini mengindikasikan bahwa reformasi yang berlangsung dalam dua dekade terakhir, baru sampai pada menghadirkan Lembaga dan Prosedur Demokrasi (Reformasi Institusi). Sementara, penguatan kapasitas yang semestinya dimiliki lembaga demokrasi itu sendiri, relatif kurang mendapat perhatian yang serius Dr. Erna Chotim sebagai Sosiolog Unas memandang pandemi Covid 19 di Indonesia memberikan deskripsi dinamis dan beragam tentang bagaimana pemerintah dan semua elemen masyarakat terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan dan program penanggulangan Covid, kelompok dan gerakan yang cenderung menentang kebijakan dan program pemerintah sekaligus memberikan gambaran yang kaya tentang bagaimana munculnya inisiatif-inisiatif masyarakat dalam membangun solidaritas sosial dalam penanggulangan Covid. Berbagai bentuk insiatif solidaritas sosial muncul baik dari internal maupun eksternal komunitas.
Bentuk solidaritas yang muncul mencirikan prinsip common good yang melampaui perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa solidaritas sosial yang terbangun saat pandemi Covid 19 sangat potensial sebagai pembentuk kesadaran kewargaan.
Tantangannya adalah bagaimana pemerintah memanfaatkan pandemi Covid 19 ini bukan semata-mata sebagai bencana tetapi sebagai media pembelajaran kritis bagi terbentuk dan memperkuat kesadaran kewargaan dengan mengembangkan identitas baru berbasis prinsip humanity, kesejahteraan, inklusivitas dan keadilan sosial. Identitas baru ini menjadi basis kontrak sosial baru relasi antara negara dan masyarakat khususnya dalam konteks new normal ke depan.
Sementara itu dalam dalam pemaparannya, Rektor Universitas Moestopo, Prof. Dr. Rudy Hardjanto mengatakan situasi pandemi ini menjadi momentum memperkuat memperkuat solidaritas, konektivitas dan kreativitas. “Covid 19 menjadi musuh bersama bagi semua umat manusia. Tidak seperti pergolakan masa lalu yang melibatkan konflik antar manusia di kedua sisi yang bermusuhan, sekarang umat manusia melawan virus,” ungkap Prof. Rudy.
Pandemi saat ini, tambah Rudy, adalah perang dan umat manusia semua bersatu dalam tujuan yang sama untuk mengalahkan Covid 19. (rls)