GUS YAHYA.DAN PILIHAN.MODERASI NU DALAM.PILPRES 2024
Oleh. : H. Adlan Daie
Analis Sosial Politik dan Keagamaan.
Pernyataan Gus Yahya bahwa "Saya tidak mau ada calon Presiden dan Wakil Presiden dari PBNU. Mari istirahat dulu, mari sembuhkan dulu luka luka dan mengutuhkan kembali polarisasi yang terjadi", adalah komitmen PBNU dibawah kepemimpinan Gus Yahya untuk memilih posisi moderat di titik tengah dan tidak menjadi "pihak" yang terlibat dalam kontestasi pilpres 2024. Sebuah pilihan tepat untuk mengambil kembali tanggung jawab NU sebagai jangkar politik kebangsaan dan penyangga keutuhan bangsa.
Data pilpres 2014 dan terutama pilpres 2019 dibawah ini yang penulis konstruksi dari data LSI Deni JA dapat mengkomfirmasi "luka luka" batin akibat polarisasi politik yang sangat tajam sebagaimana disampaikan Gus Yahya di atas. Membelah secara sosial dan berpotensi merobek tenun kebangsaan kita.
Dalam pilpres 2014 di empat Provinsi ujung timur Indonesia dengan populasi mayoritas non muslim seperti Papua, NTT, Bali dan Sulawesi Utara, Jokowi menang telak di atas rata.rata 60% - 70% dan kemenangannya naik hingga 20% di pilpres 2019, dibanding pilpres 2014.
Sebaliknya Prabowo menang di Provinsi ujung barat seperti Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara dengan populasi mayoritas islam di atas rata rata 55% - 60% dan menang makin telak di pilpres 2019 dengan rata rata kenaikan sebesar 15% - 25 %.
Di pulauJawa di bagian timur, yakni Jateng, DIY dan Jatim dalam pilpres 2014 Jokowi menang dan menang makin telak di pilpres 2019. Di Jawa bagian barat, yakni.Jawa Barat dan Banten Prabowo menang di pilpres 2014 dan naik di pilpres. 2019 meskipun KH.Makruf Amin cawapres dari representasi NU dan Banten. Hanya di.DKI Jakarta relatif berimbang dengan Jokowi sedikit unggul dalam dua pilpres tersebut.
Dari sisi politik aliran, mayoritas non muslim memilih Jokowi hingga 83%. Populasi pemilih muslim di permukaan relatif berimbang dengan proporsi pemilih Jokowi 52% dan Prabowo 48%. Pemilih "islam kota" (rumpun aksi 212) dengan 3% populasi pemilihnya mutlak afiliasi ke Prabowo.
Pemilih NU dengan kecenderungan mayoritas para elite strukturalnya menjadi bagian tim sukses Jokowi dengan populasi 50% dari pemilih muslim terdistribusi ke Jokowi 54% dan ke Prabowo 46% (selisih 8%). Pemilih Muhamadiyah.dan non afiliasi.ormas Islam relatif berimbang di antara ke dua capres.
Pembelahan pilihan politik berbasis data di atas memberi gambaran bahwa menggiring pilihan publik dengan narasi "politik identitas" dan anti Pancasila sangat berbahaya bagi integrasi kebangsaan kita. Ongkos luka batin tak terperikan dan berpotensi mengoyak kohesi kebangsaan, sulit disembuhkan hanya dengan transaksi meng akomudasi Prabowo dalam struktur kabinet Jokowi.
Dalam kerangka itu, maka komitmen PBNU di bawah kepemimoinan Gus Yahya untuk mengambil posisi moderat dalam kontestasi pilpres 2024 akan dapat mencegah residu perbedaan pilihan politik tidak menjadi intensi ketegangan antar pemeluk agama yang berbeda. Bahkan di antara perbedaan bendera ormas Islam.
Di sini NU harus mengambil peran di arus utama publik untuk menjaga narasi narasi kontestasi pilpres 2024 tidak saling membelah dengan pemantik suku, ras dan agama melainkan kontestasi tukar tambah gagasan bagaimana pilpres membawa out put langsung bagi kesejahteraan rakyat.
Inilah "amal.jariyah kebangsaan" NU. Sebuah komitmen Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU untuk "Menghidupkan Gussur", tidak boleh ditukar oleh pragmatisme politik apapun, oleh siapa pun dan kapan pun demi Indonesia Raya yang kokoh lahir batin berdasarkan falsafah dasar Pancasila.
Wassalam. (*)